- Pertengkaran Adalah Hal Yang Lumrah Terjadi
Setiap pasangan suami istri di dunia ini pastilah
mengalami pertengkaran atau konflik. Bahkan meski rumah
tangga seorang nabi sekalipun. Kalau penyebabnya bukan
dari pihak suami, mungkin saja dari pihak istri. Atau mungkin juga
datang dari pihak luar.Selain perbedaan pendapat, mungkin saja
pertengkaran disebabkan karena kekhilafan yang sangat manusiawi.
Jalan keluar dari khilaf apabila dilakukan oleh seorang istri bukan
thalaq, paling tidak, thalaq itu bukan alternatif yang harus
dipilih pertama kali. Thalaq harus ditempatkan pada posisi paling
akhir dalam setiap alternatif jalan keluar dari setiap persengketaan
rumah tangga.
Sebelum wacana tentang thalaq boleh
digelar, ada kewajiban untuk melewati tahap-tahap sebelumnya,
seperti nasehat, hukuman baik dalam bentuk pisah ranjang atau pun
pukulan yang tidak menyakitkan. Termasuk meminta bantuan
pihak ketiga untuk ikut menyelesaikan konflik antara
keduanya. Bila semua alternatif tadi kandas karena masalahnya
memang sulit dipecahkan, barulah boleh digelar wacana
terakhir yang berfungsi sebagai katup penyelamat, yaitu
thalaq.
- Nasehat
Dan kalau seorang suami menjumpai isterinya ada
tanda-tanda nusyuz (durhaka) dan menentangnya; maka dia harus
berusaha mengadakan islah dengan sekuat tenaga, diawali dengan
kata-kata yang baik, nasehat yang mengesan dan bimbingan yang
bijaksana.
- Pisah Ranjang
Kalau cara ini tidak lagi berguna, maka boleh dia
tinggalkan dalam tempat tidur sebagai suatu usaha agar
instink kewanitaannya itu dapat diajak berbicara. Kiranya dengan
demikian dia akan radar dan kejernihan akan kembali.
- Pukulan
Kalau ini dan itu tidak lagi berguna, maka
dicoba untuk disadarkan dengan tangan, tetapi harus dijauhi
pukulan yang berbahaya dan muka. Ini suatu obat mujarrab untuk
sementara perempuan dalam beberapa hal pada saat-saat
tertentu. Maksud memukul di sini tidak berarti harus dengan cambuk
atau kayu, tetapi apa yang dimaksud memukul di sini ialah salah
satu macam dari apa yang dikatakan Nabi kepada seorang
khadamnya yang tidak menyenangkan pekerjaannya. Nabi mengatakan
sebagai berikut :
“Andaikata tidak ada qishash (pembalasan) kelak
di hari kiamat, niscaya akan kusakiti kamu dengan kayu
ini.” (Riwayat Ibnu Saad dalam Thabaqat)
Tetapi Nabi sendiri tidak menyukai laki-laki
yang suka memukul isterinya. Beliau bersabda sebagai berikut:
“Mengapa salah seorang di antara kamu
suka memukul isterinya seperti memukul seorang hamba,
padahal barangkali dia akan menyetubuhinya di hari
lain?!” (Riwayat Anmad, dan dalam Bukhari ada yang
mirip dengan itu)
Terhadap orang yang suka memukul isterinya
ini, Rasulullah s.a.w. mengatakan:
“Kamu tidak jumpai mereka itu sebagai orang yang
baik di antara kamu.” (Hadis ini dalam Fathul Bari
dihubungkan kepada Ahmad, Abu Daud dan Nasa`i dan disahkan oleh
Ibnu Hibban dan Hakim dari jalan Ayyas bin Abdillah bin Abi Dzubab).
Ibnu Hajar berkata:
“Dalam sabda Nabi yang mengatakan: orang-orang
baik di antara kamu tidak akan memukul”
Ini menunjukkan, bahwa secara garis besar
memukul itu dibenarkan, dengan motif demi mendidik jika suami
melihat ada sesuatu yang tidak disukai yang seharusnya isteri harus
taat. Tetapi jika dirasa cukup dengan ancaman adalah lebih baik.
Apapun yang mungkin dapat sampai kepada tujuan yang cukup
dengan angan-angan, tidak boleh beralih kepada suatu
perbuatan. Sebab terjadinya suatu tindakan, bisa
menyebabkan kebencian yang justru bertentangan dengan prinsip
bergaul yang baik yang selaiu dituntut dalam kehidupan
berumahtangga. Kecuali dalam hal yang bersangkutan dengan
kemaksiatan kepada Allah.Imam Nasa`i meriwayatkan dalam bab ini dari
Aisyah r.a sebagai berikut:
“Rasulullah s.aw. tidak pernah memukul
isteri maupun khadamnya samasekali; dan beliau samasekali
tidak pernah memukul dengan tangannya sendiri, melainkan
dalam peperangan (sabilillah) atau karena larangan-larangan
Allah dilanggar, maka beliau menghukum karena Allah.”
- Libatkan Pihak Ketiga (hakim)
Kalau semua ini tidak lagi berguna dan sangat
dikawatirkan akan meluasnya persengketaan antara suami-isteri,
maka waktu itu masyarakat Islam dan para cerdik-pandai harus
ikut campur untuk mengislahkan, yaitu dengan mengutus seorang
hakim dari keluarga laki-laki dan seorang hakim dari keluarga
perempuan yang baik dan mempunyai kemampuan. Diharapkan
dengan niat yang baik demi meluruskan ketidak teraturan dan
memperbaiki yang rusak itu, semoga Allah memberikan taufik kepada
kedua suami-isteri. Perihal ini semua, Allah s.w.t. telah
berfirman dalam al-Quran sebagai berikut:
“Dan perempuan-perempuan yang kamu
kawatirkan kedurhakaannya, maka nasehatlah mereka itu, dan
tinggalkanlah di tempat tidur, dan pukullah. Apabila
mereka sudah taat kepadamu, maka jangan kamu cari-cari jalan untuk
menceraikan mereka, karena sesungguhnya Allah Maha Tinggi
dan Maha Besar. Dan jika kamu merasa kawatir akan
terjadinya percekcokan antara mereka berdua, maka utuslah hakim
dari keluarga laki-laki dan seorang hakim lagi dari keluarga
perempuan. Apabila mereka berdua menghendaki islah, maka
Allah akan memberi taufik antara keduanya; sesungguhnya
Allah
Maha Tinggi dan Maha Mengetahui.” (QS. An-Nisa :
34-35)
- Perceraian Adalah Pilihan Terakhir
Di sini, yakni sesudah tidak mampunyai lagi seluruh
usaha dan cara, maka di saat itu seorang suami
diperkenankan memasuki jalan terakhir yang dibenarkan oleh
Islam, sebagai satu usaha memenuhi panggilan kenyataan
dan menyambut panggilan darurat serta jalan untuk
memecahkan problema yang tidak dapat diatasi kecuali
dengan berpisah. Cara ini disebut thalaq. Islam,
sekalipun memperkenankan memasuki cara ini, tetapi
membencinya, tidak menyunnatkan dan tidak menganggap satu
hal yang baik. Bahkan Nabi sendiri mengatakan:
“Perbuatan halal yang teramat dibenci Allah, ialah
talaq.” (Riwayat Abu Daud)
“Tidak ada sesuatu yang Allah halalkan, tetapi
Ia sangat membencinya, melainkan talaq.” (Riwayat Abu Daud)
Perkataan halal tapi dibenci oleh Allah
memberikan suatu pengertian, bahwa talaq itu suatu rukhshah yang
diadakan semata-mata karena darurat, yaitu ketika
memburuknya pergaulan dan menghajatkan perpisahan antara
suami-isteri. Tetapi dengan suatu syarat: kedua belah
pihak harus mematuhi ketentuan-ketentuan Allah dan
hukum-hukum perkawinan. Dalam satu pepatah dikatakan:
“Kalau tidak ada kecocokan, ya perpisahan.”
Tetapi firman Allah mengatakan:
“Dan jika (terpaksa) kedua suami-isteri itu
berpisah, maka Allah akan memberi kekayaan kepada
masing-masing pihak dari anugerah-Nya. “ (QS. An-Nisa`: 130)
Wallahu'alam bi sawab.
0 Response to "Thalaq Dalam Pandangan Islam"
Post a Comment