Thalaq Dalam Pandangan Islam

  • Pertengkaran Adalah Hal Yang Lumrah Terjadi

Setiap pasangan suami istri di dunia ini pastilah mengalami pertengkaran atau konflik. Bahkan meski rumah tangga seorang nabi sekalipun. Kalau penyebabnya bukan dari pihak suami, mungkin saja dari pihak istri. Atau mungkin juga datang dari pihak luar.Selain perbedaan pendapat, mungkin saja pertengkaran disebabkan karena kekhilafan yang sangat manusiawi. Jalan keluar dari khilaf apabila dilakukan oleh seorang istri bukan thalaq, paling tidak, thalaq itu bukan alternatif yang harus dipilih pertama kali. Thalaq harus ditempatkan pada posisi paling akhir dalam setiap alternatif jalan keluar dari setiap persengketaan rumah tangga.

Sebelum wacana tentang thalaq boleh digelar, ada kewajiban untuk melewati tahap-tahap sebelumnya, seperti nasehat, hukuman baik dalam bentuk pisah ranjang atau pun pukulan yang tidak menyakitkan. Termasuk meminta bantuan pihak ketiga untuk ikut menyelesaikan konflik antara keduanya. Bila semua alternatif tadi kandas karena masalahnya memang sulit dipecahkan, barulah boleh digelar wacana terakhir yang berfungsi sebagai katup penyelamat, yaitu thalaq.
    1. Nasehat
Dan kalau seorang suami menjumpai isterinya ada tanda-tanda nusyuz (durhaka) dan menentangnya; maka dia harus berusaha mengadakan islah dengan sekuat tenaga, diawali dengan kata-kata yang baik, nasehat yang mengesan dan bimbingan yang bijaksana.
    1. Pisah Ranjang
Kalau cara ini tidak lagi berguna, maka boleh dia tinggalkan dalam tempat tidur sebagai suatu usaha agar instink kewanitaannya itu dapat diajak berbicara. Kiranya dengan demikian dia akan radar dan kejernihan akan kembali.
    1. Pukulan
Kalau ini dan itu tidak lagi berguna, maka dicoba untuk disadarkan dengan tangan, tetapi harus dijauhi pukulan yang berbahaya dan muka. Ini suatu obat mujarrab untuk sementara perempuan dalam beberapa hal pada saat-saat tertentu. Maksud memukul di sini tidak berarti harus dengan cambuk atau kayu, tetapi apa yang dimaksud memukul di sini ialah salah satu macam dari apa yang dikatakan Nabi kepada seorang khadamnya yang tidak menyenangkan pekerjaannya. Nabi mengatakan sebagai berikut :

“Andaikata tidak ada qishash (pembalasan) kelak di hari kiamat, niscaya akan kusakiti kamu dengan kayu ini.” (Riwayat Ibnu Saad dalam Thabaqat)

Tetapi Nabi sendiri tidak menyukai laki-laki yang suka memukul isterinya. Beliau bersabda sebagai berikut:

“Mengapa salah seorang di antara kamu suka memukul isterinya seperti memukul seorang hamba, padahal barangkali dia akan menyetubuhinya di hari lain?!” (Riwayat Anmad, dan dalam Bukhari ada yang mirip dengan itu)

Terhadap orang yang suka memukul isterinya ini, Rasulullah s.a.w. mengatakan:

“Kamu tidak jumpai mereka itu sebagai orang yang baik di antara kamu.” (Hadis ini dalam Fathul Bari dihubungkan kepada Ahmad, Abu Daud dan Nasa`i dan disahkan oleh Ibnu Hibban dan Hakim dari jalan Ayyas bin Abdillah bin Abi Dzubab).

Ibnu Hajar berkata:

“Dalam sabda Nabi yang mengatakan: orang-orang baik di antara kamu tidak akan memukul”

Ini menunjukkan, bahwa secara garis besar memukul itu dibenarkan, dengan motif demi mendidik jika suami melihat ada sesuatu yang tidak disukai yang seharusnya isteri harus taat. Tetapi jika dirasa cukup dengan ancaman adalah lebih baik. Apapun yang mungkin dapat sampai kepada tujuan yang cukup dengan angan-angan, tidak boleh beralih kepada suatu perbuatan. Sebab terjadinya suatu tindakan, bisa menyebabkan kebencian yang justru bertentangan dengan prinsip bergaul yang baik yang selaiu dituntut dalam kehidupan berumahtangga. Kecuali dalam hal yang bersangkutan dengan kemaksiatan kepada Allah.Imam Nasa`i meriwayatkan dalam bab ini dari Aisyah r.a sebagai berikut:

“Rasulullah s.aw. tidak pernah memukul isteri maupun khadamnya samasekali; dan beliau samasekali tidak pernah memukul dengan tangannya sendiri, melainkan dalam peperangan (sabilillah) atau karena larangan-larangan Allah dilanggar, maka beliau menghukum karena Allah.”

    1. Libatkan Pihak Ketiga (hakim)
Kalau semua ini tidak lagi berguna dan sangat dikawatirkan akan meluasnya persengketaan antara suami-isteri, maka waktu itu masyarakat Islam dan para cerdik-pandai harus ikut campur untuk mengislahkan, yaitu dengan mengutus seorang hakim dari keluarga laki-laki dan seorang hakim dari keluarga perempuan yang baik dan mempunyai kemampuan. Diharapkan dengan niat yang baik demi meluruskan ketidak teraturan dan memperbaiki yang rusak itu, semoga Allah memberikan taufik kepada kedua suami-isteri. Perihal ini semua, Allah s.w.t. telah berfirman dalam al-Quran sebagai berikut:

“Dan perempuan-perempuan yang kamu kawatirkan kedurhakaannya, maka nasehatlah mereka itu, dan tinggalkanlah di tempat tidur, dan pukullah. Apabila mereka sudah taat kepadamu, maka jangan kamu cari-cari jalan untuk menceraikan mereka, karena sesungguhnya Allah Maha Tinggi dan Maha Besar. Dan jika kamu merasa kawatir akan terjadinya percekcokan antara mereka berdua, maka utuslah hakim dari keluarga laki-laki dan seorang hakim lagi dari keluarga perempuan. Apabila mereka berdua menghendaki islah, maka Allah akan memberi taufik antara keduanya; sesungguhnya Allah
Maha Tinggi dan Maha Mengetahui.” (QS. An-Nisa : 34-35)
  • Perceraian Adalah Pilihan Terakhir
Di sini, yakni sesudah tidak mampunyai lagi seluruh usaha dan cara, maka di saat itu seorang suami diperkenankan memasuki jalan terakhir yang dibenarkan oleh Islam, sebagai satu usaha memenuhi panggilan kenyataan dan menyambut panggilan darurat serta jalan untuk memecahkan problema yang tidak dapat diatasi kecuali
dengan berpisah. Cara ini disebut thalaq. Islam, sekalipun memperkenankan memasuki cara ini, tetapi membencinya, tidak menyunnatkan dan tidak menganggap satu hal yang baik. Bahkan Nabi sendiri mengatakan:

“Perbuatan halal yang teramat dibenci Allah, ialah talaq.” (Riwayat Abu Daud)
“Tidak ada sesuatu yang Allah halalkan, tetapi Ia sangat membencinya, melainkan talaq.” (Riwayat Abu Daud)

Perkataan halal tapi dibenci oleh Allah memberikan suatu pengertian, bahwa talaq itu suatu rukhshah yang diadakan semata-mata karena darurat, yaitu ketika memburuknya pergaulan dan menghajatkan perpisahan antara suami-isteri. Tetapi dengan suatu syarat: kedua belah pihak harus mematuhi ketentuan-ketentuan Allah dan hukum-hukum perkawinan. Dalam satu pepatah dikatakan:

“Kalau tidak ada kecocokan, ya perpisahan.” Tetapi firman Allah mengatakan:

“Dan jika (terpaksa) kedua suami-isteri itu berpisah, maka Allah akan memberi kekayaan kepada masing-masing pihak dari anugerah-Nya. “ (QS. An-Nisa`: 130)


Wallahu'alam bi sawab.

0 Response to "Thalaq Dalam Pandangan Islam"

Post a Comment